BAB
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah Negara yang
mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Bahkan jumlah umat Islam di
Indonesia merupakan yang terbanyak diantara negara-negara di dunia sekarang
ini. dalam konteks politik, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup serius
dalam membangun hubungan politik antar Agama (Islam) dengan Negara. Hal ini
juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya agama Islam,
seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan Turki. Hubungan politik antara
Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai oleh ketegangan-ketegangan
yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy, 1998:2).
Secara umum kesulitan hubungan tersebut
dapat di lihat dalam dua perdebatan pokok. Pertama,
kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara baik
dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang
memberlakukan ajaran Islam. Kedua, kelompok
yang menentang kaitan antara Islam dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi
paradigma keagamaan yang berbeda tersebut dapat membentuk sistem aplikasi dalam
konteks politik yang berbeda pula. Perkembangan selanjutnya muncul dua kelompok
yang dikenal dengan kelompok tradisional dan kelompok modernis. Itulah
permasalahan penting ketika kita berbicara tentang sitem negara atau sistem
politik Islam.
Sementara itu, politik Islam di
Indonesia sekarang diwarnai dengan implementasi model masyarakat yang disebut
“masyarakat madani”. Sejak kekuasaan Soeharto memasuki masa-masa akhir
pemerintahannya, istilah masyarakat madani cukup populer dikalangan masyarakat
Indonesia. Konsep itu lebih populer lagi setelah pemerintahan Soeharto tumbang
dan diganti dengan masa baru yang bertekad ingin mewujudkan masyarakat madani
di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Secara umum masyarakat madani sering di
pahami sebagai masyarakat sipil (civil
society). Memang sejak masa reformasi, masyarakat sipil mulai mendapatkan
angin segar untuk banyak berkiprah di pemerintahan dan dapat menduduki berbagai
jabatan penting di negara ini. Namun, di sisi lain hasil yang dicapai dari
pencanangan masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya.
Yang tampak hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus
memperhatikan prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang
memiliki prinsip-prinsip dasar tersendiri.
Karena itu, pada bagian ini akan di kaji
apa sebenarnya politik Islam itu dab bagaimana dasar-dasarnya serta siapa saja
tokoh-tokoh yang banyak menyumbangkan pemikirannya tentang politik Islam.
Selanjutnya akan di kemukakan juga konsep masyarakat Madinah pada masa Nabi
Muhammad Saw. Dan bagaimana mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
B.
BATASAN
MASALAH
1. Menjelaskan
defenisi Politik secara umum.
2. Politik
dalam perspektif Islam.
3. Menjelaskan
tentang prinsip-prinsip Dasar Politik Islam.
4. Peran
Islam Dalam Politik Nasional
BAB II.
PEMBAHASAN
A. DEFENISI POLITIK SECARA UMUM
Secara
Etimologi (bahasa) Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing
bersumber dari bahasa Yunani τα
πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara)
dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota). kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang
berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang
menekuni hal politik.
Secara Terminologi
politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan
ilmu dalam meraih kekuasaan secara konstitusional maupun secara
nonkonstitusional.
B. POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.
Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush
shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al
Muhith, siyasahberakar kata sâsa - yasûsu.
Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama
‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan
mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur
perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut
diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut
digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan
urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa
Arab dikatakan bahwa ulil
amri mengurusi (yasûsu)
rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu
pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin
rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’,
artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak
seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan
pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah
petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah
SAW sendiri
menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang
lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak
para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu
makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik
berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir
dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam
rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati
pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran
yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan
gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang
bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari
golongan mereka." (HR. Al Hakim).
Rasulullah ditanya
oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa"
(HR. Ahmad).
Berarti
secara ringkas Politik Islam memberikan
pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat
terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang
beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan
non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan
kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun
penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka
kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi
masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan
seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang
shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik
itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu
takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang
merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang
demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang
juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam.(Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal.
31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
C.
PRINSIP-PRINSIP DASAR
POLITIK ISLAM
1.
Teori Politik Islam
dan Tokoh-tokohnya
Sebagian pemeluk Islam mempercayai bahwa Islam
mencakup cara hidup yang total, bahkan sebagaian lagi melangkah lebih jauh dari
hal ini. mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang
menawarkan pemecahan terhadap semua masalah. Nazi Ayubi (dalam Bahtiar Effendy,
1988:7) mengatakan bahwa umat Islam percaya akan sifat Islam yang sempurna dan
menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi din (agama), dunya (dunia),
dan dalwah (negara). Karena itu,
Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap
semua masalah kehidupan. Islam harus diterima dalam keseluruhannya dan harus di
terapkan dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan politik.
Pandangan seperti itu mengemuka dalam praktiknya di
berbagai Negara yang penduduknya mayoritas Islam terutama di Indonesia, namun
gerakan-gerakan mengenai pandangan yang di bawakan oleh sebagain golongan
tersebut masih bersifat eksklusif. Karena kendala bahwa di Indonesia memiliki
dasar Negara Pancasila yang mengakomodasi semua agama yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia, sehingga sangatlah sulit untuk mengekspresikan ajaran
suatu agama (baca: Islam) dalam pentas politik secara total dan mengabaikan
kepentinga agama-agama lainnya.
Pandangan holistik terhadap Islam seperti di atas
mempunyai beberapa implikasi. Salah satunya, pandangan tersebut telah mendorong
lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam secara “literal” yang hanya
menekankan dimensi luar (exterior)-nya. Kecenderungan sperti ini terkadang
menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan dalam (interior) dari
prinsip-prinsip Islam.
Harus diakui bahwa pemahaman Islam baik dalam masalah
teologi, fikih, maupun filsafat menunjukkan adanya variasi interpretasi (multi
interpretatif). Hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai aliran (mahzab)
dalam ketiga domain Islam tersebut. Background dan pengalaman dari
masing-masing pemikir sangat mempengaruhi variasi pemikiran mereka.
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam
tersebut. Dari perjalanan wacana intelektual dan historis pemikiran dan praktek
politik Islam, ada beberapa pendapat yang berbeda-beda, beberapa bahkan saling
bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara. Dalam satu
bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (1993), Munawir Sadzali menguraikan
pemikiran politik Islam dari beberapa pemikir Muslim mulai dari masa klasik
sampai dengan masa modern, seperti pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi,
al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (masa klasik dan
pertengahan), Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali
Abdul Raziq, al-Ikhwan al-Muslimun, al-Maududi, dan Muhammad Husain Haikal
(Masa Modern).
Dari pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali
mengklasifikasikannya menjadi tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama
berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat,
yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, akan tetapi
sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan
bagi segalah aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan ber Negara.
Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain adalah Hasan Al-Banna, Sayyid Quttub,
Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian barat, yakni agama tidak mempunyai hubungan dengan
urusan kenegaraan. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ahmad
Lutfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan thaha Husain. Sedang aliran ketiga
berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan ber Negara. Aliran ke tiga
ini menolak pendirian kedua aliran sebelumnya yang sangat ekstrim. Di antara
tokoh dari aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal (Munawwir sadzali,
1993:1-2)
Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas,
kenyataannya ada dua bentuk praktek politik Islam di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu ada yang secara legal-formal
menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Syariah (hukum Islam) di jadikan sebagai
konstitusi negara. Sebagai contih, bisa di lihat praktik politik Islam di Iran
dan beberapa negara Islam di Timur Tengah. Di samping itu, ada juga
negara-negara yang tidak secara legal-formal menjadikan islam sebagai dasar
negaranya dan syariah sebagai konstitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau
nilai-nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik politik di
negara-negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan substansi daripada bentuk
Negara yang legal-formal. Indonesia secara umum menerapkan praktik politik
dengan model aturan aliran yang ke dua dengan kekhasan yang tentunya berbeda
dari negara-negara lain.
2.
Prinsip-prinsip
Politik Dalam Islam
a. al- Musyawarah
Dalam prinsip
perundang-undangan Islam, musyawarah dinilai sebagai lembaga yang amat penting
artinya. Penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan Islam
haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah. Karena itu musyawarah
merupakan prinsip penting dalam politik Islam. Prinsip musyawarah ini sesuai
dengan ayat al-Quran Surah Ali Imran ayat 159.
b.
al-Adalah (keadilan )
Agama Islam
menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi dalam sistem
perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan
berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti yang terkandung
dalam surat An-Nahl ayat 90.
Ayat tersebut diatas
memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya melarang dan
mengancam dengan sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang.
Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang
amat tinggi dalam struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
c.
al-Hurriyah (kebebasan)
Yang dimaksud dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan bagi warganya untuk dapat melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini mengandung makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih suatu yang lebih baik, atau kebebasan berfikir yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan pemikiranya.
Islam mengakui adanya
kebebasan berfikir. Bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai ahlak dasar
setiap manusia. Dalam sistem perundang-undanganya Islam juga sangat menghargai
nilai-nilai kebebasan itu. Penghargaan sistem perundang-undangan Islam terhadap
kebebasan itu tidak dapat dibandingkan dengan sistem lainya yang diciptakan
manusia.
d.
al-Musawah (persamaan)
Prinsip persamaan
berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama, juga
mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan dalam berpendapat, kebebasan,
tanggung jawab, dan tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal
usul, bahasa dan keyakinan..
Berdasarkan prinsip
persamaan ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang
dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya. Allah menciptakan laki-laki
dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk membuat jarak
antara mereka. Bahkan diantara mereka agar dapat saling tukar pengalaman.
Al-Quran menegaskan yang membedakan diantara manusia adalah hanya karena
taqwanya. Sebagaimana firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13.
rinsip-prinsip
politik Islam, terkait dengan kepemimpinan, di tinjau dari perspektif Al-Quran
dan Hadist bisa dijelaskan seperti berikut ini :
a. Tidak memilih orang
kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144), orang-orang yahudi dan nasrani
(QS. Al-Maidah (5):51-53), orang-orang yang mempermainkan agama dan
mempermainkan shalat (QS. Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah Swt. Dan musuh
orang mukmin (QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai
kekufuran dari pada iman (QS. At-Taubah (9):23).
b. Setiap kelompok harus
memilih pemimpin sebagaimana di jelaskan dalam hadist: “jika tiga orang
melakukan suatu perjalanan, angkat salah seorang di antara mereka sebagai
pemimpin” (HR. Abu Daud).
c. Pemimpin haruslah
orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana di jelaskan dalam hadist :”
sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu
berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah
mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu melaknati mereka dan
melaknati kamu” (HR. Muslim).
d. Pemimpin yang maha
mutlak hanyalah Allah Swt. Sebagaimana di jelaskan dalam Al-Quran: “Maha Suci
Tuhan yang di tangan-nyalah segalah kerajaan dan Dia maha kuasa atas segalah
sesuatu” (QS. Al-Mulk (67):1); “dan kepunyaan Allah lah kerajaan antar
keduanya” (QS. Al-Maidah (5):18).
e. Kepemimpinan Allah
Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan kepada manusia, sesuai yang
dikehendakiNya:” Katakanlah Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki” (QS. Ali Imran (3):26). Status
kepemimpinan manusia hanya sebagai amanah dari Allah Swt. Yang sewaktu-waktu
diberikan kepada seseorang dan diambil dari seseorang.
f. Memperhatikan
kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini di dasarkan pada sabda Nabi Saw. :
“siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin,
tidaklah ia termasuk dalam golongan mereka” (HR. Al-Bukhari).
D.
Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional
Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang
sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam
selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia,
yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan
bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap era/ masa bangsa ini:
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap era/ masa bangsa ini:
1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan
nasional punya akar sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial
bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan
kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-16
Masehi.
2. Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat
dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia baik pada masa kolonial
maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi
kolonialisme sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan
ideologi tertentu macam komunisme dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.
3. Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas di dalam negara. Ideologi politik lainnya
dipasung dan tidak boleh ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam. Hal ini
menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan
Islam. Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di
sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik
dengan pemerintah. Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung
pemerintahan dan menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era
reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani
Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat
itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul Ulama.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
BAB
III
KESIMPULAN
Politik
dan moral. Bagi kebanyakan kita, mungkin dua kata itu terkesan kontradiktif,
saling bertentangan. Politik, pada satu sisi menurut pandanga kebanyakan orang
merupakan sesuatu yang rendah, kotor, penuh intrik, dan menghalalkan segalah
cara. Sedangkan moral, di sisi lain, merupakan sesuatu agung yang luhur.
Di
tangan Imam Ali, politik dan moral adalah merupakan saudara kembar, tak
terpisahkan satu sama lain. Kepemimpinannya adalah politik, sedangkan dirinya
adalah moral. Politiknya adalah produk dari moralnya, tentunya Ali mentauladani
cara berpolitik Rasulullah Muhammad SAW. Di mata Ali “ pemerintah dan kekuasaan
yang tidak mempraktikkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah
makhluk terburuk di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Sudrajat, Ajat dkk, 2008, Din Al-Islam “pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum”, Yogyakarta: UNY Press.
Jafri, Syed Husain Muhammad, 2003, Moralitas
Politik Islam, Jakarta: Pustaka Zahra.
SUMBER DARI INTERNET
http://www.crayonpedia.org/mw/Ciri-Ciri_Masyarakat_Madani
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
ConversionConversion EmoticonEmoticon