Politik Dalam Islam



BAB I.
PENDAHULUAN

    A.    LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah Negara yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Bahkan jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang terbanyak diantara negara-negara di dunia sekarang ini. dalam konteks politik, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup serius dalam membangun hubungan politik antar Agama (Islam) dengan Negara. Hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya agama Islam, seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan Turki. Hubungan politik antara Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy, 1998:2).
Secara umum kesulitan hubungan tersebut dapat di lihat dalam dua perdebatan pokok. Pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang memberlakukan ajaran Islam. Kedua, kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi paradigma keagamaan yang berbeda tersebut dapat membentuk sistem aplikasi dalam konteks politik yang berbeda pula. Perkembangan selanjutnya muncul dua kelompok yang dikenal dengan kelompok tradisional dan kelompok modernis. Itulah permasalahan penting ketika kita berbicara tentang sitem negara atau sistem politik Islam.
Sementara itu, politik Islam di Indonesia sekarang diwarnai dengan implementasi model masyarakat yang disebut “masyarakat madani”. Sejak kekuasaan Soeharto memasuki masa-masa akhir pemerintahannya, istilah masyarakat madani cukup populer dikalangan masyarakat Indonesia. Konsep itu lebih populer lagi setelah pemerintahan Soeharto tumbang dan diganti dengan masa baru yang bertekad ingin mewujudkan masyarakat madani di tengah-tengah  masyarakat Indonesia.
Secara umum masyarakat madani sering di pahami sebagai masyarakat sipil (civil society). Memang sejak masa reformasi, masyarakat sipil mulai mendapatkan angin segar untuk banyak berkiprah di pemerintahan dan dapat menduduki berbagai jabatan penting di negara ini. Namun, di sisi lain hasil yang dicapai dari pencanangan masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya. Yang tampak hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang memiliki prinsip-prinsip dasar tersendiri.
Karena itu, pada bagian ini akan di kaji apa sebenarnya politik Islam itu dab bagaimana dasar-dasarnya serta siapa saja tokoh-tokoh yang banyak menyumbangkan pemikirannya tentang politik Islam. Selanjutnya akan di kemukakan juga konsep masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dan bagaimana mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.


B.     BATASAN MASALAH
1.      Menjelaskan defenisi Politik secara umum.
2.      Politik dalam perspektif Islam.
3.      Menjelaskan tentang prinsip-prinsip Dasar Politik Islam.
4.      Peran Islam Dalam Politik Nasional







BAB II.
PEMBAHASAN

A.    DEFENISI POLITIK SECARA UMUM
Secara Etimologi (bahasa) Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani Ï„α πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya Ï€Î¿Î»Î¯Ï„ης (polites - warga negara) dan Ï€ÏŒÎ»Î¹Ï‚ (polis - negara kota). kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Secara Terminologi politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu dalam meraih kekuasaan secara konstitusional maupun secara nonkonstitusional.

B.     POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasahberakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
       Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam.(Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.



C.    PRINSIP-PRINSIP DASAR POLITIK ISLAM

1.      Teori Politik Islam dan Tokoh-tokohnya
Sebagian pemeluk Islam mempercayai bahwa Islam mencakup cara hidup yang total, bahkan sebagaian lagi melangkah lebih jauh dari hal ini. mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah. Nazi Ayubi (dalam Bahtiar Effendy, 1988:7) mengatakan bahwa umat Islam percaya akan sifat Islam yang sempurna dan menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi din (agama), dunya (dunia), dan dalwah (negara). Karena itu, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Islam harus diterima dalam keseluruhannya dan harus di terapkan dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan politik.
Pandangan seperti itu mengemuka dalam praktiknya di berbagai Negara yang penduduknya mayoritas Islam terutama di Indonesia, namun gerakan-gerakan mengenai pandangan yang di bawakan oleh sebagain golongan tersebut masih bersifat eksklusif. Karena kendala bahwa di Indonesia memiliki dasar Negara Pancasila yang mengakomodasi semua agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sehingga sangatlah sulit untuk mengekspresikan ajaran suatu agama (baca: Islam) dalam pentas politik secara total dan mengabaikan kepentinga agama-agama lainnya.
Pandangan holistik terhadap Islam seperti di atas mempunyai beberapa implikasi. Salah satunya, pandangan tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam secara “literal” yang hanya menekankan dimensi luar (exterior)-nya. Kecenderungan sperti ini terkadang menyebabkan terabaikannya dimensi “kontekstual” dan dalam (interior) dari prinsip-prinsip Islam.
Harus diakui bahwa pemahaman Islam baik dalam masalah teologi, fikih, maupun filsafat menunjukkan adanya variasi interpretasi (multi interpretatif). Hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai aliran (mahzab) dalam ketiga domain Islam tersebut. Background dan pengalaman dari masing-masing pemikir sangat mempengaruhi variasi pemikiran mereka.
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam tersebut. Dari perjalanan wacana intelektual dan historis pemikiran dan praktek politik Islam, ada beberapa pendapat yang berbeda-beda, beberapa bahkan saling bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara. Dalam satu bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (1993), Munawir Sadzali menguraikan pemikiran politik Islam dari beberapa pemikir Muslim mulai dari masa klasik sampai dengan masa modern, seperti pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (masa klasik dan pertengahan), Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali Abdul Raziq, al-Ikhwan al-Muslimun, al-Maududi, dan Muhammad Husain Haikal (Masa Modern).
Dari pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali mengklasifikasikannya menjadi tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, akan tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segalah aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan ber Negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain adalah Hasan Al-Banna, Sayyid Quttub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yakni agama tidak mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ahmad Lutfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan thaha Husain. Sedang aliran ketiga berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan ber Negara. Aliran ke tiga ini menolak pendirian kedua aliran sebelumnya yang sangat ekstrim. Di antara tokoh dari aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal (Munawwir sadzali, 1993:1-2)
Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas, kenyataannya ada dua bentuk praktek politik Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu ada yang secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Syariah (hukum Islam) di jadikan sebagai konstitusi negara. Sebagai contih, bisa di lihat praktik politik Islam di Iran dan beberapa negara Islam di Timur Tengah. Di samping itu, ada juga negara-negara yang tidak secara legal-formal menjadikan islam sebagai dasar negaranya dan syariah sebagai konstitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik politik di negara-negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan substansi daripada bentuk Negara yang legal-formal. Indonesia secara umum menerapkan praktik politik dengan model aturan aliran yang ke dua dengan kekhasan yang tentunya berbeda dari negara-negara lain.





2.      Prinsip-prinsip Politik Dalam Islam

a.      al- Musyawarah
Dalam prinsip perundang-undangan Islam, musyawarah dinilai sebagai lembaga yang amat penting artinya. Penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan Islam haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah. Karena itu musyawarah merupakan prinsip penting dalam politik Islam. Prinsip musyawarah ini sesuai dengan ayat al-Quran Surah Ali Imran ayat 159.
b.      al-Adalah (keadilan )
            Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90.
            Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya melarang dan mengancam dengan sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang. Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang amat tinggi dalam struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

c.       al-Hurriyah (kebebasan)

           
Yang dimaksud dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan bagi warganya untuk dapat melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini mengandung makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih suatu yang lebih baik, atau kebebasan berfikir yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan pemikiranya.
            Islam mengakui adanya kebebasan berfikir. Bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai ahlak dasar setiap manusia. Dalam sistem perundang-undanganya Islam juga sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu. Penghargaan sistem perundang-undangan Islam terhadap kebebasan itu tidak dapat dibandingkan dengan sistem lainya yang diciptakan manusia.

d.      al-Musawah (persamaan)
            Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan dalam berpendapat, kebebasan, tanggung jawab, dan tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal usul, bahasa dan keyakinan..
Berdasarkan prinsip persamaan ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk membuat jarak antara mereka. Bahkan diantara mereka agar dapat saling tukar pengalaman. Al-Quran menegaskan yang membedakan diantara manusia adalah hanya karena taqwanya. Sebagaimana firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13.


rinsip-prinsip politik Islam, terkait dengan kepemimpinan, di tinjau dari perspektif Al-Quran dan Hadist bisa dijelaskan seperti berikut ini :
a.       Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144), orang-orang yahudi dan nasrani (QS. Al-Maidah (5):51-53), orang-orang yang mempermainkan agama dan mempermainkan shalat (QS. Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin (QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai kekufuran dari pada iman (QS. At-Taubah (9):23).
b.      Setiap kelompok harus memilih pemimpin sebagaimana di jelaskan dalam hadist: “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).
c.       Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana di jelaskan dalam hadist :” sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu melaknati mereka dan melaknati kamu” (HR. Muslim).
d.      Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah Swt. Sebagaimana di jelaskan dalam Al-Quran: “Maha Suci Tuhan yang di tangan-nyalah segalah kerajaan dan Dia maha kuasa atas segalah sesuatu” (QS. Al-Mulk (67):1); “dan kepunyaan Allah lah kerajaan antar keduanya” (QS. Al-Maidah (5):18).
e.       Kepemimpinan Allah Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan kepada manusia, sesuai yang dikehendakiNya:” Katakanlah Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki” (QS. Ali Imran (3):26). Status kepemimpinan manusia hanya sebagai amanah dari Allah Swt. Yang sewaktu-waktu diberikan kepada seseorang dan diambil dari seseorang.
f.       Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini di dasarkan pada sabda Nabi Saw. : “siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk dalam golongan mereka” (HR. Al-Bukhari).



D.    Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional

Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap era/ masa bangsa ini:

1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.

2.      Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam komunisme dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.




3. Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam.  Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah. Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul Ulama.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.













BAB III
KESIMPULAN
            Politik dan moral. Bagi kebanyakan kita, mungkin dua kata itu terkesan kontradiktif, saling bertentangan. Politik, pada satu sisi menurut pandanga kebanyakan orang merupakan sesuatu yang rendah, kotor, penuh intrik, dan menghalalkan segalah cara. Sedangkan moral, di sisi lain, merupakan sesuatu agung yang luhur.
            Di tangan Imam Ali, politik dan moral adalah merupakan saudara kembar, tak terpisahkan satu sama lain. Kepemimpinannya adalah politik, sedangkan dirinya adalah moral. Politiknya adalah produk dari moralnya, tentunya Ali mentauladani cara berpolitik Rasulullah Muhammad SAW. Di mata Ali “ pemerintah dan kekuasaan yang tidak mempraktikkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia.
           












DAFTAR PUSTAKA
Sudrajat, Ajat dkk, 2008, Din Al-Islam “pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi   Umum”, Yogyakarta: UNY Press.
Jafri, Syed Husain Muhammad, 2003, Moralitas Politik Islam, Jakarta: Pustaka Zahra.

SUMBER DARI INTERNET
http://www.crayonpedia.org/mw/Ciri-Ciri_Masyarakat_Madani
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam


           







Previous
Next Post »